Skip to main content

Siapa di antara Anda yang suka bermain lego atau block puzzle? Prefab house, yang merupakan kependekan dari Pre-fabrication house, bisa dianalogikan seperti kedua permainan tadi.

Sebagian dari Anda mungkin tidak asing dengan istilah ini. Bagi yang belum tahu, prefab house atau rumah prefabrikasi adalah bangunan yang bagian-bagiannya tidak dibangun di tanah, dimana bangunan seharusnya dibangun, melainkan di pabrik. Bagian-bagian rumah yang dimaksud adalah, dinding, lantai, atap, pintu, jendela, dan sebagainya. Semua dikirim dalam bentuk setengah jadi, untuk akhirnya dirangkai di lokasi rumah akan dibangun. Mirip dengan permainan lego, kan?

Dengan cara ini, kita bisa sangat menghemat waktu pembangunan. Untuk rumah berukuran mungil bahkan bisa terbangun, dalam waktu kurang dari satu bulan. Menghemat waktu berefek pada penghematan biaya, terutama biaya pekerja. Di negara-negara yang sudah lebih dulu mengaplikasikan rumah prefabrikasi, seperti Amerika, Inggris, Jepang, dan berbagai negara maju lainnya, membangun prefabrikasi sudah bisa dilakukan sendiri, dengan bantuan beberapa orang saja.

Di Indonesia, kita pernah mendengar pembangunan rumah prefabrikasi untuk korban bencana tsunami di Aceh, dan korban-korban bencana alam lainnya. Sebenarnya ini bukan hal baru, di dunia pun, rumah prefabrikasi banyak dibangun untuk korban bencana alam. Selain pembangunannya cepat, pun mudah, siapapun bisa membangun prefab house.

Sayangnya, ini membuat impresi yang kurang baik. Rumah prefabrikasi jadi diidentikkan dengan rumah massal yang kelasnya rendah, dan hanya cocok untuk daerah-daerah bencana. Rumah prefabrikasi berharga lebih murah, benar. Tapi bukan berarti murahan. Rumah-rumah prefabrikasi di Jepang misalnya, bisa didesain dengan baik, bahkan ada pula yang unik.

Selain murah, kelebihan lain rumah prefabrikasi adalah lebih ramah lingkungan. Dengan lebih dulu dirancang di pabrik, berdasarkan perencanaan awal tentunya, akan mengurangi terbuangnya sisa-sisa material. Karena sudah sesuai perencanaan, bolak-balik mengangkut material ke lokasi, juga tidak perlu dilakukan. Cukup sekali angkut, beres. Di Jepang, bahkan material-material daur ulang sudah bisa digunakan untuk rumah prefabrikasi.

Ada kelebihan, pun ada kekurangannya. Oleh sebab bagian-bagiannya sudah dirangkai sebelumnya, akan sedikit merepotkan kalau terjadi kerusakan pada saat proses pemasangan. Jadi, walaupun bisa dikerjakan sendiri, tetap saja butuh ketelatenan. Kelemahan lain, untuk rumah yang berukuran luas dan lebih dari satu lantai, akan membutuhkan bantuan alat berat, seperti crane.

Terlepas dari berbagai kekurangannya tadi, rumah prefabrikasi layak dipertimbangkan sebagai alternatif perumahan murah di Indonesia. (Nisa)