Skip to main content

“If green design is a boring design, I don’t want to do that kind of design.” Skak mat. Tidak ada lagi yang bertanya.

Ruangan sempat hening selama beberapa detik, waktu Kengo Kuma, sang arsitek asal Jepang, melontarkan pernyataan, yang merupakan jawabannya atas pertanyaan salah seorang audiens kuliah umum, tentang green design ini. Seorang kawan menyatakan kekecewaannya atas pernyataan Kengo Kuma ini, di akun twitternya. Lantas, apakah kita memang perlu kecewa? Tunggu dulu, setelah membaca semua poin, yang saya dapat dari kuliah umum sang arsitek, yang tersaji di sini, barulah kita boleh memutuskan akan kecewa atau tidak.

Seperti layaknya arsitek memberi kuliah umum atau seminar, pelajaran diberikan lewat presentasi karya. Demikian pula yang dilakukan oleh Kengo Kuma. Kalau kita bahas karyanya satu per satu, bisa-bisa saya tidak tidur berhari-hari untuk menuliskannya. Satu hal yang perlu kita tahu, arsitek kenamaan asal Jepang ini, dikenal akan prinsipnya yang selalu teguh memegang nilai kelokalan. Tak salah jika kemudian tema inilah yang dibaginya pada kita semua, pada saat kuliah umum, yang diselenggarakan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) digelar.

Supaya singkat dan tidak bertele-tele, langsung saja saya jabarkan beberapa poin yang bisa saya simpulkan dari presentasi Mr. Kuma, ya?

Poin pertama, dalam berkarya Kengo Kuma sebisa mungkin tidak menebang pohon atau tumbuhan, yang ada di sekeliling lahan, dimana bangunan akan dibangun. “Don’t cut the landscape! Cut the landscape means cut the beauty,” katanya.

Poin berikutnya, arsitek kawakan ini selalu memperhatikan lingkungan sekitar lahan pembangunan. Mulai dari sejarah, iklim, bangunan-bangunan asli atau bangunan lama, dan sebagainya. Menurutnya, lingkungan sekitar akan sangat mempengaruhi desain yang dibuatnya. Kembali mengutip Kengo Kuma, “Be friends with the surroundings,” ujarnya.

Karya yang luar biasa indah, menurutnya, tidak ada gunanya jika tidak “berteman” dengan lingkungan sekitar. Karya arsitektur yang baik, adalah yang bisa menyatu dengan alam sekitar.

Poin terakhir, Kengo Kuma selalu menggunakan material lokal selokal-lokalnya, bahkan kalau bisa sama sekali tidak menggunakan sarana transportasi atau pengiriman apapun. Apa yang ada di sekitar lahan pembangunan, ya itulah yang dia gunakan.

Tiga poin ini akhirnya menjawab rasa penasaran saya, tentang apa sih yang dimaksud dengan nilai kelokalan, yang diagung-agungkan Mr. Kuma itu?

Apa hubungan tiga poin ini dengan pernyataan yang membuat seluruh ruangan terdiam beberapa detik tadi? Menurut saya, tiga poin ini adalah gambaran betapa green-nya Kengo Kuma. Kebosanan yang dikatakannya, menurut hemat saya, hanya sekadar kebosanan akan seringnya perkara global warming dan green design ini diungkit.

Seringkali, para arsitek terjebak dengan istilah green design yang memiliki banyak sekali batas, sehingga akhirnya menghasilkan karya yang begitu-begitu saja. Satu hal lagi, yang perlu dikutip dari arsitek yang sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun ini. Menurutnya, solusi lingkungan dalam desain itu mungkin diwujudkan, tapi tidak akan seratus persen menjadi solusi.

Desain yang ia buat, katanya, adalah sekadar trigger. Artinya, dari desain yang ia buat, diharapkan akan memacu gaya hidup orang-orang di sekitar, untuk menjadi lebih memperhatikan lingkungan. Setelah membaca pelajaran-pelajaran dari Kengo Kuma, sekarang Anda boleh putuskan untuk kecewa atau tidak.

More about Kengo Kuma; go to http://kkaa.co.jp/

(Nisa)